Profil Daerah Kabupaten Barito Kuala

Kabupaten Barito Kuala adalah satu di antara 11 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan. Dengan Marabahan sebagai ibu kota, letaknya kurang strategis yakni di delta Pulau Petak yang dikurung dua sungai besar, Sungai Barito dan Sungai Kapuas yang bermuara ke Laut Jawa. Selain itu ratusan sungai-sungai kecil yang meliuk-link bagaikan ular merupakan sumber penghidupan sebagian besar dari 244.541 jiwa warganya. Penyebaran penduduk pun tidak merata, 82 jiwa per kilometer persegi. Daerah seluas 2.996,96 kilometer persegi ini memiliki 16 ke­camatan dan 194 desa-122 desa di antaranya tergolong desa tertinggal.

Lantaran wilayahnya miskin, maka bagian terbesar pen­duduknva ikut merana pula. Apalagi 90 persen dari luas areal daerah itu adalah rawa pasang surut dengan penguasaan lahan sawah kurang dan 0,5 hektar per rumah tangga. Dengan kondisi ini amatlah sulit meraih penghasilan yang memadai. Usaha sampingan penduduk adalah berkebun, seperti rambutan, nanas, jeruk, dan kelapa. Setiap tujuh-delapan bulan sekali ke empat komoditas ini membanjiri pasaran or Banjarmasin . Ada pula sebagian warga yang menekuni kerajinan rumah tangga seperti kerupuk ikan, anyaman purun, dan minyak kelapa. Oleh karena letak daerahnya "terbelakang", amatlah jarang daerah itu dikunjungi pejabat di tingkat provinsi, apalagi dari pusat, Jakarta . Satu-satunya alat transportasi ke Marabahan hanyalah lewat sungai dari Banjarmasin , naik speedboat sekitar 1,5 jam atau naik klotok (perahu bermesin) sekitar 2,5 jam. Kondisi semacam ini mengakibatkan kue pembangunan amatlah sedikit yang bisa dinik­mati warganya.

Soal potensi wilayah, Barito Kuala tak kalah dengan daerah lain. Sumber daya alam hutan, misalnya (hutan produksi terbatas) tereatat sekitar 129.000 hektar, namun tak pernah dimanfaatkan. Ada juga hutan suaka margasatwa sekitar 145 hektar. Di sana pun terdapat wilayah perikanan laut seluas 20.900 hektar dengan proyeksi hasil perikanannya sekitar 31.350 ton per tahun. Namun, yang sekarang diusahakan warga kurang dari seribu hektar.

Sekarang agak lebih baik setelah Bardiansyah Mudjidi-putera asli daerah itu-dipercaya menjadi Bupati Barito Kuala sejak empat tahun lalu. Meski dengan risiko besar, yakni berusaha mengubah kebiasaan warga dari budaya sungai ke darat, is berhasil membangun prasarana jalan darat. Banjarmasin-Marabahan (sekitar 56 kilometer) bisa dilalui mobil dengan aspal mulus meski harus menyeberang dengan feri sekitar 15 menit di atas Sungai Gampa. Bupati bertekad tahun 2002 seluruh ibu kota kecamatan akan terhubung melalui jalan darat. ***

Warga Barito Kuala sesungguhnya tidak pantas hidup menderita hanya lantaran letak daerahnya terbelakang atau tiadanya infra­struktur yang menunjang. Coba saja pergi ke Desa Jelapat, Kecamatan Tamban, misalnya, dengan klotok atau speedboat. Di sana akan tampak puluhan industri besar yang berjejer di bibir Sungai Barito yang mulai tercemar berbagai limbah itu. Ada sekitar 24 jumlahnya, ada yang berkantor pusat di Jakarta dan ada pula di Singapura. Dari jumlah itu empat di antaranya berbentuk Penanaman Modal Asing (PMA) dan 19 Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Semuanya industri kayu terpadu. Satunya lagi yang juga PHA adalah industri lem. Lantas, apakah bercokolnya mesin pencetak dollar AS" milik konglomerat kenamaan sejak puluhan tahun lalu membawa manfaat bagi masyarakat? Jangan mengira masyarakat Desa Jelapat khusus­nya dan masyarakat Kabupaten Barito Kuala umumnya sejahtera dan makmur. "Makmur? Yang kaya raya itu, ya manajer atau pimpinan di perusahaan itu. Kalau ada orang sini yang makmur ya oknum pejabatnya saja," tutur sejumlah tokoh masyarakat setempat. Dari sekitar 210 jiwa warganya, memang ada yang bekerja di pabrik kayu lapis dan moulding itu. Namun, hanya untuk posisi buruh kasar: membuang sisa-sisa limbah atau menaikkan log dari sungai ke darat atau sebagai penjaga malam, misalnya. Kalau ada posisi lain ya sebagai anggota satpam. Rumah-rumah warga di sekitar industri itu tampak lebih bagus dibanding puluhan tahun silam meskipun amat kontras dibanding rumah-rumah pimpinan dan manajer perusahaan yang terkesan mewah itu. Namun, itu pun hanya kebaikan hati pengawas dan mandor yang membiarkan sisa-sisa kayu dari pabrik diambil warga guna memperbaiki rumah mereka. Selain itu warga sekitar pun memanfaatkan sisa kayu itu sebagai kayu bakar untuk memasak atau dijual. Dampak positif lainnya dari industri itu adalah aliran listrik. Seluruh Desa Jelapat yang semula gelap kini sudah menikmati aliran listrik dari peusahaan. Mereka pun bisa membeli radio dan televisi. Kontribusi perusahaan secara langsung pada desa (kecuali untuk Pemda Kabupaten Barito Kuala berupa Pajak Bumi dan Bangunan) memang sangat kurang. Kalaupun ada juga sangat kecil. "Untuk kepentingan fasilitas sosial, seperti membangun jalan desa, reha­bilitasi rumah ibadah, perbaikan sekolah, misalnya, perusahaan cepat saja membantu kalau memang masyarakat membutuhkan bantuan," kata Jumberi, warga setempat. Teori embun menetes memang terjadi, tetapi bak musim kemarau. Embun yang menetes sangatlah sedikit. Sejumlah warga sekitar, misalnya, memang bisa membuka usaha kecil-kecilan, seperti mem­buka warung teh, kopi, dan nasi bungkus untuk melayani buruh harian perusahaan itu, tetapi berapalah perputaran uangnya? Begitu pun, masyarakat sudah mensyukurinya, seperti diakui Ny. Sutina, pemilik warung teh di sana . "Lumayan juga Pak, daripada tidak ada pekerjaan sama sekah," katanya. Daerah kelahiran almarhum Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Hasan Basri ini sebenarnya punya obyek wisata yang cukup andal, yakni Pulau Kaget, habitat maskot Kalsel-bekantan (Nasalis Larvatus). Pulau yang terletak di wilayah Tabunganen ini pernah didatangi sejurnlah kru televisi Australia dan beberapa negara di Eropa. Lalu di utara Pulau Kaget ada Pulau Kembang, habitatnya kera ekor panjang yang setiap hari Minggu didatangi wisatawan lokal. Di timur ada Pulau Bakut (di bawah Jembatan Barito yang diresmikan Presiden Soeharto Juni 1997). Pulau ini habitat dari ikan bakut.

Geografis

Ekspeditor asal Denmark , Carl Bock, pada tahun 1878 bertutur tentang perjalanannya menyusuri Su­ngai Barito. Menurut ceritanya, Muarabahan adalah bandar perdagangan penting dan le­taknya strategis. Lokasinya berada di persimpangan Sungai Barito, Kapuas , dan Kahayan. Kota ini banyak disinggahi pen­duduk di sekitar pedalaman Kalimantan . Mereka memba­wa bermacam-macam barang dengan menggunakan perahu dayung untuk ditransaksikan di sana .
Dalam perkembangannya Muarabahan tidak lagi menjadi bandar transit bagi angkutan barang dagangan. Nama Muarabahan pun lalu berubah menjadi Marabahan. Dan pada tanggal 4 Januari 1960 dengan UU Nomor 27 Tahun 1959 Marabahan ditetapkan menjadi ibu kota Kabupaten Barito Kuala.
Jarak dari Marabahan ke Banjarmasin jauhnya 56 kilometer. Dahulu transportasi di daerah ini hanya bisa dilalui lewat sungai dengan jarak tempuh 2-3 hari. Sekarang jarak itu darat ditempuh hanya dalam satu setengah jam lewat darat. Meskipun lewat jalan darat, perjalanan musih tetap saja harus menyebrangi Sungai Barito. Tidak banyak kendaraan yang lalu-lalang. Hanya sesekali saja pengendara berpapasan dengan kendaraan lain.

Suasana sunyi dan sepi langsung menyergap begitu seseorang tiba di Marabahan. Pemandangan kota tidak lepas dari Sungai Barito, karena kota ini terletak di tepian cabang sungai tersebut. Alat transportasi yang ada di dalam kota cuma ojek dan becak. Itu pun tak banyak. Sementara angkutan kota (angkot) hanya tersedia untuk perjalanan ke Banjarmasin . Kota Marabahan sendiri terlihat ramai apabila hari pasar tiba setiap 2 hari dalam sepekan.

Barito Kuala sebagian besar wilayahnya dikelilingi sungai dan rawa. Kondisi ini menyebabkan tanah daerah ini mengandung lahan gambut.Tingkat keasaman tanah di sana mencapai ph 3-5. Akibatnya, air tanah tidak bisa langsung dikonsumsi masyarakat, karena me­ngandung senyawa besi dan sulfur atau biasa disebut larutan firit. Kandungan senyawa tersebut kurang baik untuk kesehatan.
Share on Google Plus

About KLIKBARUPULANG

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar

Sponsor